I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kondisi saat ini, hal yang mendasar bagi
bangsa Indonesia adalah mempertahankan sekaligus meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara berkesinambungan tanpa merusak daya dukung lingkungan alamnya.
Demikian halnya dengan wilayah pesisir, sumberdaya alam yang terkandung pada
wilayah pesisir dan lautan harus dipertahankan. Hal ini disebabkan wilayah
pesisir dan lautan menyusun 63% dari wilayah teritorial Indonesia dan dalamnya
terkandung kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya
dan beragam (Dahuri, 2001).
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan
antara darat dan laut dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik
kering maupun perairan yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti
angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh vegetasi yang
khas. Sumberdaya pesisir dapat dimanfaatkan untuk usaha perikanan, dimana hutan
mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang paling produktif untuk
digunakan sebagai tambak udang, kepiting dan ikan. Besarnya potensi sumberdaya
di wilayah pesisir ini merupakan asset yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat.
Hutan mangrove merupakan
ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove
menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa diwilayah tropika dan sedikit di subtropika. Hutan mangrove
merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan
mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling khatulistiwa diwilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan
mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan hutan
mangrove terbesar di dunia (Fatchan, 2013).
Devitha,
2015 mengatakan bahwah Peranan hutan mangrove sangat penting dalam menjaga
kestabilan kondisi daratan dan lautan. Ekosistem hutan mangrove juga tergolong
dinamis karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi
sesuai dengan perubahan tempat tumbuhnya. Namun hutan mangrove tergolong labil
karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali. Selanjutnya Devitha
(2015) mengatakan bahwa sifat dan bentuk yang dimiliki dari ekosistem mangrove
sangat khas serta mempunyai fungsi dan manfaat yang beranekaragam bagi
masyarakat sekitar kawasan hutan mangrove maupun bagi mahluk hidup lainnya yang
berada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, ekosistem mangrove tersebut
dimasukkan dalam salah satu ekosistem pendukung kehidupan yang penting, dan
perlu dipertahankan kelestariannya. Mangrove mempunyai
produktivitas biomasa yang tinggi (2 ton/ha/tahun) yang mampu mendukung mata
rantai makanan biota pesisir dan perikanan lepas pantai (Manson et al. 2005). Ekosistem mangrove mampu
memberikan kontribusi bagi kelangsung kehidupan masyarakat setempat
(Sathiratai, 1998).
Ekosistem mangrove di Pantai Timur
Suamtera Utara mempunyai luas 95.762 ha pada tahun 1989 dengan ketebalan
bervariasi dari 20 m sampai dengan 5 km. Hasil penelitian pendahuluan yang
dilakukan oleh Suprayogi et al.
(2010) menunjukkan hasil analisa GIS kawasan tersebut mengalami degradasi
sehingga luasnya menjadi 60.152 ha pada tahun 2002 dan hanya tersisa 26.458 ha
pada tahun 2009. Apabila dibandingkan antara data tahun 1989 dan 2009,
ekosistem mangrove di Pesisir Timur Sumatera Utara mengalami degdradasi seluas
69.304 ha.
Penyebab
utama degradasi tersebut adalah konversi ekosistem mangrove menjadi lahan
tambak udang intensif udang windu (Penaeus
monodon). Berkurangnya luasan ekosistem mangrove tersebut mempunyai
potensi: (a) meningkatnya resiko bencana alam kawasan pantai seperti banjir rob
dan tsunami; (b) meningkatnya resiko abrasi pantai dan intrusi air laut; (c)
turunnya dukungan siklus nutrien terhadap produksi perikanan; dan (d)
menurunnya cadangan karbon untuk mengurangi resiko dampak perubahan iklim
global. Konversi dan pemanfaaatan hutan mangrove
dengan cara menebang hutan dan mengalihkan fungsinya ke penggunaan lain akan
membawa dampak yang sangat luas. Pengambilan hasil hutan dan konversi hutan
mangrove dapat memberikan hasil kepada pendapatan masyarakat dan kesempatan
meningkatkan kerja. Namun di pihak lain, terjadi penyusutan hutan mangrove,
dimana pada gilirannya dapat mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitarnya.
(Arif, 2012).
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap hutan
mangrove, bersumber dari kegiatan manusia untuk mengkonversi areal hutan
mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial,
industri dan pertanian. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove
yang cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan secara
intensif. Kegiatan terakhir ini memberikan kontribusi terbesar dalam
pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan
fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih dari nilai penggantinya.
Permasalahan ini timbul biasanya karena ketidaktahuan akan nilai alamiah yang
dapat diberikan oleh ekosistem hutan mangrove dan ketiadaan perencanaan untuk
pengembangan secara integral. Tidak diketahuinya data dan informasi tentang
nilai ekonomi dari hutan mangrove dapat mengakibatkan kerusakan atau kehilangan
sumberdaya ini tidak dirasakan sebagai suatu kerugian, sehingga banyak komponen
ekonomi dari hutan mangrove menjadi kurang mendapat perhatian di dalam
pengelolaan berkelanjutan. Dengan mengetahui nilai manfaat langsung dan tidak
langsung dari hutan mangrove di harapkan masyarakat maupun pemerintah bisa
melihat dan mengetahui nilai manfaat langsung dan tidak langsung dari kawasan
hutan mangrovenya. Sehingga dalam penyusunan perencanaan pembangunan wilayah
pesisir dalam hal ini kawasan hutan mangrove pada kawasan pesisir tidak hanya
melihat dari hasil atau nilai manfaat mangrove yang diberikan atau dirasakan
masyarakat secara langsung. Namun dapat dilihat dari keseluruhan nilai potensi
manfaat mangrove yang bisa dikembangkan oleh masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung tanpa merusak atau menggangu ekosistem hutan mangrove.
Tentunya dengan menerapkan pemanfaatan yang optimal masyarakat dan pemerintah
dapat merasakan berbagai keuntungan dan manfaat hutan mangrove, baik secara
ekologi maupun secara ekonomi dengan penerapan pemanfaatan hutan mangrove yang
lestari. Oleh karena itu makah ini akan membahas upaya konservasi hutan
mangrove berbasis masyarakat di Pesisir Timur Sumatera.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
dapat dirumuskan permasalahan dari makalah ini adalah :
1.
Bagaimana upaya
konservasi ekosistem mangrove di Pesisir Timur Sumatera Utara yang dilakukan
oleh masyarakat.
2.
Bagaimana bentuk
pemanfaatan yang telah dilakukan oleh masyarakat dalam menunjang ekonomi yang
berkelanjutan di Pesisir Timur Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian
Adapan tujuan dari penulisan makalah
ini sebagai berikut:
1.
Mengetahui upaya
konservasi ekosistem mangrove di Pesisir Timur Sumatera Utara yang dilakukan
oleh masyarakat
2.
Mengetahui
bentuk pemanfaatan yang telah dilakukan oleh masyarakat dalam menunjang ekonomi
yang berkelanjutan di Pesisir Timur Sumatera Utara
II. METODE
2.1. Waktu dan Tempat
Waktu yang digunakan
dalam penulisan karya ilmiah ini dari tanggal 16 Desember 2016 sampai dengan 12
Januari 2017. Adapun tempat yang menjadi materi yang dibahas pada makalah ini
wilayah ekosistem mangrove di Pesisir Timur Sumatera
Utara.
2.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data digunakan bagi penulis untuk mendapatkan data yang
akurat dan akan menjadi bahan untuk penulisan makalah ini. Adapun pengumpulan data tersebut melalui :
1. Observasi
Melalui observasi penulis
mendapatkan beberapa data sesuai dengan apa yang ada dilapangan, misalnya
seperti kondisi hutan mangrove dan beberapa habitat binatang yang ada dipesisir
hutan mangrove di Pesisir Timur Sumatera
Utara.
2. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan
cara mencari sumber dari buku, jurnal, informasi
dari media internet yang berkaitan dengan pembahasan ada makalah dan hasil
observasi kebeberapa wilayah sebagai penguat dalam materi kajian pada makalah ini
serta wawancara langsung dengan beberapa aktifis lingkungan yang konsen pada
konservasi mangrove
2.3. Metode Analisis Data
Untuk membahas atau menganalisis permasalahan dalam karya tulis ini,
penulis menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif. Artinya penulis
hanya memberikan pemaparan secara umum sesuai dengan kualitas yang ada, tanpa
menggunakan sistematik angka.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Ekosistem Hutan Mangrove
Mangrove sering diartikan di
Indonesia sebagai hutan pasang surut, hutan mangrove atau hutan bakau. Kata
mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa inggris grove.
Dalam bahasa inggris, kata mangrove
digunakan untuk menyebut komunitas tumbuhan yang ada di daerah pasang surut
yang berupa individu-individu spesies tumbuhan khas pantai yang menyusun
komunitas di daerah itu. Dalam bahasa portugis, kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan,
sedangkan kata mangal digunakan untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut
(Fatchan, 2013). Sedangkan menurut Tomlinson (1986) dalam Fatchan (2013), kata
mangrove berarti tanaman tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah
intertidal. Daerah intertidal adalah wilayah di bawah pengaruh surut sepanjang
garis pantai, seperti laguna, estuarin, pantai dan riverbank (tepi sungai).
Hutan mangrove adalah hutan
yang ditumbuhi vegetasi mangrove dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Menurut Nybakken (1992) dalam Nurlailita (2015), hutan mangrove adalah sebutan
umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropika
yang didominasi oleh beberapa spesies pohonpohon yang khas atau semak-semak
yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan masin. Jadi, ekosistem
mangrove adalah suatu sistem dimana alam menjadi tempat berlangsungnya
kehidupan yang memiliki hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, yang terdapat di wilayah
pesisir, dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan juga didominasi oleh
spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh pada perairan masin atau
payau.
Mangrove merupakan perpaduan
antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari
bahasa Inggris. Dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk
individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang
terdiri dari individu - individu jenis mangrove tersebut. Sedangkan dalam
bahasa Inggris, kata mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon –
pohon atau rumput – rumput maupun semak berlukar yang tumbuh di laut maupun untuk
individu jenis tumbuhan yang berasosiasi dengannya (Nurlailita, 2015). Selanjutnya Nurlailita (2015) menambahkan
hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu berkembang pada daerah pasang surut
terutama pantai berlumpur seperti jenis-jenis Rhizophora, Avicennia,
Bruguiera dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini berasosiasi dengan jenis
lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan mangrove lainnya.
Umumnya mangrove dapat
ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove terluas terdapat di Irian
Jaya dengan luas sekitar 1.350.600 ha (38%), Kalimantan 978.200 ha (28 %) dan
Sumatera 673.300 ha (19%). Mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada
pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Tumbuhan mangrove
memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang
ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta
kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu,
beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif
mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem
akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Rusilaet
al. 1999).
Setidaknya terdapat 202
jenis tumbuhan mangrove di Indonesia, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma,
19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari
202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis
perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati, sementara jenis lain ditemukan
disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate
asociate). Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman
jenis yang tinggi (Rusilaet al. 1999).
Menurut Kusmana (2003),
cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan terdiri atas: (1) satu atau
lebih spesies yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies
tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup dihabitat
non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut,
lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya
menetap, sementara, singgah, maupun yang tidak sengaja ditemukan maupun khusus
hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam
mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun
diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas
ekosistem sebenarnya dangan laut.
Mangrove mempunyai kemampuan
khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti
kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang
kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove
mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluarkan garam dari
jaringan, sementara yang lain mengembangkan sistem akar nafas untuk mebantu
memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Bengen 2004). Selanjutnya Huda
(2008) menyatakan beberapa karakteristik
habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis
tanahnya berlumpur atau berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara
berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama.
Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan
air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus
pasang surut yang kuat.
Kondisi salinitas sangat
mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas
dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu
menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis
yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Rusilaet
al. 1999).Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang.
Kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan
air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata.
Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus
cendeerung mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur,
jadi substrat pada rawa mangrove biasanya berlumpur. Substrat inilah yang
nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono
2000).
Secara sederhana, mangrove
umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah
yang memiliki sungai berair payau sampai hamper tawar, serta daerah kearah
daratan yang memiliki air tawar, yang akan dijelaskan sebagai berikut (Noor et
al. 1999):
a.
Mangrove
terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi
floristik dari komunitas dizona terbuka sangat tergantung pada substratnya.
Contoh tanamannya adalah Soneratia alba yang mendominasi daerah berpasir
sementara Avicenia marina dan Rhizophora mucfonata cenderung
untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b.
Mangrove
tengah, terletak dibelakang mangrove zona terbuka.
Dizona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya
yang ditemukan adalah Bruguier
eriopetala, Bruguier gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora mucronata,
Xylocarpus granatum dan Xylocarpus
moluccensis.
c.
Mangrove
payau, berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar.
Di zona ini
biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Dijalur
lain biasanya ditemukan tegakan N-fruticans yang bersambung dengan
vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris,
dan Xylocarpus granatum. Kearah pantai campuran komunitas Sonneratia-Nypa
lebih sering ditemukan.
d.
Mangrove
daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar dibelakang jalur hijau
mangrove.
Zona ini
memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.
Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk ficus microcarpus.
3.2.
Manfaat Hutan Mangrove
Terkait dengan keberadaannya
di lingkungan, hutan Mangrove memberikan banyak manfaat bagi makhluk hidup dan
lingkungan pantai. Masyarakat daerah pantai umumnya mengetahui bahwa hutan
mangrove sangat berguna dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai cara untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Pohon mangrove adalah pohon berkayu yang kuat dan
berdaun lebat. Mulai dari bagian akar, kulit kayu, batang pohon, daun dan
bunganya semua dapat dimanfaatkan manusia.
Pearce dan Turner (1990)
menyatakan nilai manfaat hutan mangrove dapat dibedakan menjadi manfaat
langsung (direct benefit) dan tidak langsung (indirect benefit). Penilaian dari nilai pakai atau kegunaan (use
value) ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Manfaat
Langsung Hutan Mangrove
Manfaat langsung hutan
mangrove adalah manfaat yang diperoleh dari hutan mangrove seperti mengambil
kayu bakar, kayu bangunan, ikan, kerang, kepiting (Fauzi, 2002). Manfaat
langsung juga dapat diartikan sebagai nilai yang diperoleh seseorang atas pemanfaatan
langsung dari sumber daya alam dan lingkungan, seperti sumber makanan, berburu,
memancing, rekreasi, dll. Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial
atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (ikan dan kayu yang
biasa dijual maupun untuk konsumsi langsung).
Nilai penggunaan langsung
adalah manfaat yang langsung diambil dari sumber daya alam (Ramdan dkk., 2003).
Nilai ini dapat diperkirakan melalui kegiatan konsumsi atau produksi. Manfaat
hutan mangrove yang dimasukkan sebagai penggunaan langsung adalah penyedia kayu
mangrove, daun mangrove sebagai bahan baku obat atau makanan ternak, buah
sebagai sumber benih dan lain-lain yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat
dari hutan mangrove yang akan berbeda pada setiap daerah.
Produk yang berasal dari
tumbuhan mangrove diantaranya adalah kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis,
bubur kertas, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, kayu untuk mebel
dan kerajinan tangan. Produk metabolik sekunder berupa tannin yang diolekan pada
jala ikan nelayan, bahan obat, karbohidrat berupa tepung yang berasal dari buah
mangrove, dan bahan pewarna yang berasal dari limbah pohon mangrove (Priyono
dkk., 2011). Fungsi sosial-budaya hutan mangrove adalah sebagai areal
konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya (Setyawan, 2006).
Manfaat langsung dari hutan
mangrove adalah hasil yang langsung dapat dipungut dan dimanfaatkan serta
memperoleh nilai yang dapat menambah pendapatan masyarakat. Jumlah dan nilai
dari hasil yang dipungut secara langsung dari hutan oleh masyarakat sekitarnya
adalah merupakan sumbangan hutan sekaligus menjadi faktor yang menjaga
kelestarian hutan tersebut (Saprudin dan Halidah, 2012).
2. Manfaat Tidak Langsung
Hutan Mangrove
Manfaat tidak langsung
adalah manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem hutan mangrove yang tidak
secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Menurut harahab (2010)
manfaat tidak langsung hutan mangrove diantaranya sebagai penyedia pakan (Feeding ground), tempat pembesaran (nursey ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) ikan, yang kesemuanya
merupakan bagian dari fungsi biologis hutan mangrove. Dari fungsi fisik
pemanfaatan hutan mangrove bisa berupa pelindung pantai dari gelombang air
laut. Selain itu ekosistem hutan mangrove juga bisa berfungsi sebagai penahan
intrusi air laut yang dapat mengatasi penyediaan air bersih bagi masyarakat
sekitar.
Marhayana (2012) mengatakan
bahwa manfaat tidak langsung adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung
terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya dan lingkungan. Manfaat
tidak langsung dapat diartikan sebagai nilai yang diperoleh seseorang secara
tidak langsung dari sumberdaya alam dan lingkungan seperti fungsi pemecah ombak
dan tempat berkembang biak ikan laut ataupun hewan laut lainnya. Manfaat tidak
langsung atau manfaat eksternal, yaitu manfaat sampingan yang diperoleh dari
keberadaan sumber daya mangrove, misalnya sembangan serasah daun terhadap
kelimpahan biota seperti kepeting bakau, moluska, ikan dan kesuburan perairan.
Pendekatan penilaiannya didasarkan atas harga tidak langsung
(mengkonversikannya ke harga pasar).
3.3. Konservasi Mangrove Berbasis Masyarakat
Pengelolaan
ekosistem hutan mangrove dengan perlibatan masyarakat merupakan suatu proses
yang dinamis dan berkelanjutan yang menyatukan berbagai kepentingan (pemerintah
dan masyarakat), ilmu pengetahuan dan pengelolaan, dan kepentingan sektoral dan
masyarakat umum. Pengelolaan berbasis masyarakat disini adalah bahwa penggunaan
dari sumberdaya yang utama yaitu masyarakat dan harus menjadi aktor pengelola
sumberdaya tersebut. Perlibatan masyarakat diperlukan untuk kepentingan
pengelolaan secara berkelanjutan pada sumberdaya, dan pada umumnya kelompok
masyarakat yang berbeda akan berbeda pula dalam kepentingannya terhadap
sumberdaya tersebut. Pengelolaan sumberdaya tidak akan berhasil tanpa mengikut
sertakan semua pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Suatu pembangunan
berbasis masyarakat dapat terbentuk, jika ada suatu kelompok berkolaborasi,
karena mereka sadar tidak dapat mengerjakan suatu tugas sendiri-sendiri dan
tidak dapat mencapai tujuan secara individual baik karena sifat dari tugas atau
tujuan itu sendiri, maupun karena keterbatasan sumber-sumber. Kebersamaan dan
kesamaan dalam perhatian, kepedulian, biasanya membuat masyarakat bersatu. Jika
kebersamaan itu melembaga, dan menimbulkan kesetia-kawanan, rasa saling
percaya, terciptanya aturan-aturan main, maka inilah dasar dari terbentuknya
basis masyarakat. Sehingga strategi yang tepat perlu dilakukan untuk menangani
isu-isu yang mempengaruhi lingkungan pesisir melalui partisipasi aktif dan
bentuk nyata dari masyarakat pesisir itu sendiri. Adanya partisipasi dari
masyarakat merupakan hal yang penting dalam upaya pengelolaan hutan mangrove
berbasis masyarakat. Banyak program dan kegiatan pengelolaan yang kurang
berhasil dikarenakan pelaksanaan program yang gagal melibatkan partisipasi
masyarakat sejak awal program.
Salah satu contoh upaya
konservasi hutan mangrove yang telah dilakukan pemerintah melalui Perum Perhutani
menggunakan pendekatan teknis yang dilakukan dalam kegiatan Perhutanan Sosial,
yaitu dengan sistem silvofishery. Sistem ini merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah yang
cukup efektif dan ekonomis. Aspek keuntungan yang diperoleh dengan model silvofishery
ini antara lain dapat meningkatkan lapangan kerja (aspek sosial), dapat
mengatasi masalah pangan dan energi
(aspek ekonomi) serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek
ekologi). Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup
baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan
ikan, pihak Perum Perhutani secara tidak langsung menjalin hubungan kerja sama yang saling
menguntungkan. Perhutanan
Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani merupakan program pembangunan, pemeliharaan dan pengamanan hutan dengan cara
mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Program ini dimaksudkan
untuk meningkatkan fungsi- fungsi hutan secara optimal, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
perbaikan lingkungan dan kelestariannya yang pelaksanaannya terbatas dikawasan
hutan. Berdasarkan pengertian tersebut diharapkan Perhutanan Sosial dapat
memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan tekanan sosial budaya penduduk di
sekitar hutan yang berakibat turunnya produktivitas lahan dan fungsi hutan
maupun kualitas lingkungan biofisik di sekitarnya.
IV PEMBAHASAN
4.1. Upaya
Konservasi Mangrove di Pesisir Timur
Sumatera Utara
4.1.1. Kondisi Mangrove di Pesisir
Timur Sumatera Utara
Sebagian besar hutan mangrove di Pesisir
Timur Sumatera Utara telah berubah statusnya menjadi lahan-lahan yang kurang
atau bahkan tidak memperhatikan aspek lingkungan sama sekali. Salah satu contoh
yang paling ironis terjadi di kawasan hutan mangrove yang sangat terkenal di
kecamatan Sicanggang, Kabupaten Langkat. Kawasan yang ditetapkan sebagai
"Suaka Margasatwa” semenjak pemerintahan Belanda dengan nama “Karang
Gading” mempunyai luas sekitar 9.520 Ha. Karang Gading merupakan habitat
berbagai jenis mamalia, burung, reptil, ikan dan hewan tingkat rendah lainnya
dan kawasan ini juga sangat kaya dengan berbagai jenis kerang-kerangan,
kepiting, udang, ikan dan berbagai jenis burung. Namun seperti dikemukakan
Naibaho (2001), kawasan lindung ini sudah sangat kritis. Sebagian besar dari
kawasan hampir gundul karena penebangan liar dan pembukaan lahan-lahan
pertanian. Sekitar 2.000 Ha dari kawasan telah berubah menjadi tambak udang.
Hal serupa juga terjadi di kawasan hutan mangrove lainnya di Sumatera Utara
seperti di desa Jaring Halus Kabupaten Langkat, dan desa Percut Sei Tuan,
Kabupaten Deli Serdang. Penyebaran hutan
mangrove yang masih tersisa di propinsi Sumatera Utara meliputi Kabupaten
Langkat (9.340 Ha), Kabupaten Deli Serdang (6.425 Ha), Kabupaten Asahan (150 Ha),
Kabupaten Labuhan Batu (1.700 Ha), Kabupaten Tapanuli Tengah (1.800 Ha),
Kabupaten Madina (2.900 Ha) dan Kabupaten Nias (9.570 Ha). Hamparan hutan
mangrove terluas terdapat di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten
Langkat dan Kabupaten Deli Serdang.
Kerusakan hutan mangrove merupakan
permasalahan yang kompleks yang terdapat pada berbagai level kegiatan yang pada
akhirnya mempengaruhi ekosistem mangrove secara menyeluruh.
Permasalahan-permasalahan utama yang melatar belakangi terjadinya degradasi
hutan mangrove di Sumatera Utara tidak terlepas dari :
1.
Tingkat
Pendapatan Masyarakat Yang Relatif Rendah
Kebanyakan
masyarakat di kawasan pesisir bekerja sebagai nelayan tradisional. Meskipun
cukup potensial namun tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir relatif masih
rendah jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini disebabkan
terbatasnya peralatan yang dimiliki nelayan tradisional yang mengakibatkan
penurunan hasil tangkap dan penghasilan nelayan. Dalam satu bulan nelayan
tradisional hanya efektif bekerja 20 hari. Untuk mengisi waktu saat tidak
melaut nelayan melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan seperti
beternak kepiting, ikan kerapu dan mencari kayu bakar. Pencarian kayu bakar
dilakukan di hutan mangrove di sekitar mereka dengan penebangan yang tidak
memenuhi aturan sehingga mengakibatkan percepatan kerusakan.
2.
Penebangan
Liar (Illegal Logging) dan Peralihan Fungsi Lahan Untuk Perkebunan
Kayu
mangrove termasuk bahan baku terbaik dalam pembuatan arang, yang bernilai
ekonomi untuk dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke luar negeri terutama
Jepang. Dampak dari tingginya nilai arang bakau di pasaran mengakibatkan
masyarakat mendirikan dapur arang yang beroperasi secara liar. Untuk memenuhi
bahan bakar tidak jarang masyarakat melakukan penebangan liar di kawasan
lindung dan sempadan pantai yang seyogianya terlarang bagi pengambilan kayu.
Izin yang dikeluarkan bagi pengusaha dapur arang sebanyak 42 izin tetapi
terdapat 250 dapur arang lainnya yang beroperasi secara liar di Kabupaten
Langkat (Dinas Perindustrian Langkat, 1995). Pembukaan Tambak Udang Secara
Liar.
Peralihan
fungsi lahan mangrove menjadi areal perkebunan sawit menjadi tawaran yang
sangat menggiurkan masyarakat. Masyarakat secara instan memperoleh ganti rugi
lahan dengan nilai rupiah yang fantastis dari pengusaha-pengusaha yang berasal
dari luar. Dengan tawaran finansial yang
cepat tersebut masyarakat tidak lagi menimbang dampak dari perubahan lahan yang
telah dilakukan.
3.
Pembukaan Tambak Udang Secara Liar
Peningkatan
harga udang di pasaran nasional sejak tahun delapan puluhan, menyebabkan banyak
masyarakat membuka lahan tambak di daerah pantai yang menimbulkan konversi
lahan. Kawasan mangrove berubah menjadi hamparan tambak dan kerusakan mangrove
di perparah oleh kurangnya kesadaran pengusaha
dan masyarakat dalam melakukan pelestarian di daerah lindung dan
sempadan. Pembukaan tambak tidak hanya dilakukan di kawasan hutan produksi yang
secara umum diperkenankan, juga dijumpai oknum-oknum tertentu melakukan
ekstensifikasi tambak sampai ke hutan lindung.
4. Persepsi Yang Keliru
Tentang Mangrove
Banyak
masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan mempunyai
pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat kotor
untuk tempat bersarang dan berbembang biak nyamuk malaria, lalat dan berbagai
jenis serangga lainnya. Hal ini telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove
yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit. Pembabatan areal
hutan mangrove mengakibatkan tidak adanya penghalang air pasang untuk lebih
banyak amsuk kedaratan dan menggenangi darat lebih luas.
5. Lemahnya Penegakan Hukum
Pada
dasarnya telah banyak peraturan perundangan yang bertujuan untuk mengatur dan
melindungi sumberdaya mengrove melalui cara-cara pengelolaan yang didasarkan
pada prinsip-pirnsip kelestarian namun demikian belum dibarengi dengan
pelaksanaan penegakan hukum yang memadai. Sehingga dari waktu ke waktu semakin
banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tanpa adanya upaya penegakan
hukum yang berarti.
4.1.2.
Upaya Pemulihan Hutan Mangrove di Pesisir Timur Sumatera Utara
Upaya pemulihan
hutan mangrove dapat dilakukan dengan kegiatan penanaman melalui penghijauan
atau reboisasi di daerah-daerah mangrove yang rusak berat terutama milik negara
di kawasan lindung yang alami, hutan lindung,
dan sempadan pantai 200 meter dari sungai. Untuk penanaman dan
pengelolaan di daearah-daerah kawasan produksi maupun lahan milik masyarakat
dilakukan oleh dunia usaha dan pemiliknya dibantu dengan arahan dan pengawasan
dari instansi terkait maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang perduli
dengan kelestarian hutan mangrove. Penanaman kembali dapat dilakukan secara
bertahap berdasarkan prioritas rehabilitasi apakah itu kritis atau sangat
kritis.
Upaya pemulihan
hutan mangrove dapat dilakukan pada kawasana hutan mangrove yang telah
mengalami peralihan fungsi lahan sebelumnya menjadi tambak intensif yang tidak
dimanfaatkan lagi oleh karena lahannya sudah rusak. Demikan juga pada
lahan-lahan bekas sawit yang telah ditinggal masyarakat karena tidak produktif
pada ekosistem hutan magrove. Hal ini telah dilakukan salah satu LSM YAGASU
yang telah melakukan restorasi seluas 2100 Ha sepanjang Pesisir Timur Sumatera
Utara meliputi Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dengan penggunaan dana Carbon Credit. Dengan asumsi 142,9 ton
CO2/ha pertahun yang akan diserap oleh mangrove jika mangrove hidup
dengan baik. Kompensasi untuk mempertahankan karbon pada hutan mangrove
dikompersikan pada nilai rupiah yang menyokong aktifitas perekonomian
masyarakat di sekitar ekosistem hutan mangrove dalam jangka waktu yang tertera
dalam perjanjian antara kelompok masyarakat, pemerintah dan YAGASU.
Proses pelaksanaan teknis
rehabilitasi dengan melibatkan masyarakat setempat disekitar lokasi
rehabilitasi dari proses pengumpulan bibit, persemaian untuk bibit yang akan di
tanam. Untuk lokasi persemaian di lakukan disekitar areal penanaman. Ini
untuk memudahkan akses penanaman. Upaya pembibitan dilakukan dengan memasukkan
bibit kedalam polibag dan setelah di isi didalam polibag diletakkan di dalam
areal pembibitan. Untuk menghindari terhadap gangguan hewan yang sering mencari makan dan menggali
makanan disekitar areal persemaian dan pembibitan, tempat pembibitan dilindungi
dengan waring yang menghalang aktivitas babi hutan masuk kedalam areal
pembibitan
Setelah bibit
mulai tumbuh didalam areal pembibitan, dilakukan upaya penanaman pada areal
rehabilitasi. Upaya ini melibatkan seluruh anggota kelompok yang
memobilisasi anggota masyarakat yang peduli tentang pentingnya upaya
rehabilitasi mangrove. Pelibatan masyarakat secara langsung untuk pemulihan
lahan ataupun rehabilitasi akan memberikan peluang masyarakat teribat untuk
pemeliharaan selanjutnya. Partisipasi
kelompok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan sangat menentukan
keberhasilan program restorasi mangrove. Sehingga masyarakat diwajibkan menjaga
kelestarian mangrove dan sebagai imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi
seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya biodiversitas ikan tangkapan
mereka di laut. Partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai
tujuan tertentu (a means to an end),
dimana tujuan dimaksudkan adalah dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang
lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia. Interaksi antara manajemen
sumberdaya pantai dengan bentuk sistem sosial secara langsung membangun
jaringan antara ekologis dan ketahanan sosial masyarakat.
Beberapa
kelompok tani yang tinggal dan beraktifitas pada ekosistem mangrove di Pesisir
Timur Sumatera Utara sudah melakukan pembibitan
mangrove secara mandiri atau swadaya untuk memenuhi kebutuhan kegiatan
restorasi baik yang dilakukan secara mandiri oleh kelompok tani untuk memenuhi
kebutuhan penyisipan tanaman yang telah rusak diwilayahnya, juga untuk memenuhi
kebutuhan lembaga pemerintahan dan non pemerintahan yang terlibat dalam
program-program perbaikan lingkungan.
Faktor
penting yang menentukan keberhasilan restorasi
adalah tingkat kerjasama dari masyarakat pesisir dan para pemimpin lokal.
Tekanan populasi lokal akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem mangrove
di sekitarnya. Pendidikan lingkungan dapat mendorong keterlibatan aktif dan
keikutsertaan publik yang lebih besar. Keduanya merupakan isu penting dalam
manajemen dan konservasi mangrove. Keputusan manajemen menyertakan masukan
lokal akan lebih berhasil dan mendapatkan dukungan politis lebih besar. Dua
pendekatan telah digunakan di restorasi area mangrove yang terdegradasi, yaitu
regenerasi buatan dan alami (Septyohadi, 2004).
4.2. Jenis Pemanfaatan Hutan
Mangrove Yang Dimanfaatkan Masyarakat di Pesisir Timur Sumatera Utara
Beberapa
pemanfaatan mangrove telah dilakukan oleh masyarakat di Pesisir Timur Sumatera
Utara. Untuk dapat lebih jelasnya dapat dilihat dibawah ini :
1.
Tambak Silvofishery
Kegiatan tambak
merupakan salah satu alternatif dalam pemanfaatan hutan mangrove. Pertambakan
yang dianjurkan adalah tambak silvofishery. Tambak Silvofishery
merupakan pola pengelolaan tambak dengan pendekatan teknis yang cukup baik,
yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan
dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian
hutan mangrove yang memiliki sistem teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa
merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil
berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai.
Pada tambak silvofishery model
empang parit, pemanfaatan lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi
satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Sistem ini memberikan kesempatan
mangrove tumbuh melingkupi 60-80 % tanggul tambak. Pada model kompalangan,
lahan untuk hutan mangrove dan empang
terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua
pintu yang terpisah untuk hutan mangrove
dan empang sedangkan tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di
sekeliling tanggul (Hikmawati,2000 )
Beberapa manfaat atau kelebihan dari
tambak ramah lingkungan diantaranya : 1) Biaya dan resiko produksi jauh lebih
rendah dan dapat dioperasikan dalam skala kecil (rumah tangga), 2) Dapat menghasilkan produksi sampingan dari hasil
tangkapan
alam seperti udang alam, kepiting, dan ikan liar, 3) Pemulihan lingkungan
(melalui penanaman/pemeliharaan mangrove) dapat meningkatkan daya dukung (carrying
capacity) tambak, sehingga mampu menjaga kualitas air dan menopang
kehidupan komoditas yang dibudidayakan, 4) Produk udang yang dihasilkan
memiliki kualitas yang premium dan memiliki harga yang lebih tinggi
dipasaran internasional karena bersifat organik atau tidak mengandung bahan
kimia berbahaya dan 5) Kawasan tambak ramah lingkungan lebih tahan terhadap
serangan penyakit, akibat kemampuan mangrove dalam menyerap limbah dan
menghasilkan zat anti bakteri.
Berdasarkan hasil penelitian Harefa (2012) Dalam satu tahun
rata-rata keuntungan yang diperoleh untuk pengelolaan tambak silvofishery ikan
bandeng dan kepiting dalam satuan hektar produksi adalah Rp 40.930.000/tahun dengan
rata-rata penghasilan petani tambak silvofishery untuk ikan bandeng dan kepiting
dalam satuan hektar produksi perbulan yakni sekitar Rp 3.410.800,-. Sedangkan
untuk perhitungan produksi tambak silvofishery selama satu tahun untuk ikan
bandeng dan udang windu dalam satu hektar produksi diperkirakan Rp. 48.030.000/tahun
dengan rata-rata penghasilan petani tambak silvofishery untuk jenis ikan bandeng dan udang windu dalam satuan
hektar produksi perbulan yakni sekitar Rp 4.002.500,-. Berdasarkan hasil
diskusi dengan petani tambak di Desa Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang, pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan tambak silvofishery sangat menjanjikan untuk menunjang
perekonomian keluarga dan dapat mencukupi kebutuhan primer dan sekunder rumah
tangga jika ditekuni dengan baik.
Meninjau hasil keuntungan yang diperoleh
dari tambak yang dikelola dengan silvofishery
memberikan pandangan bahwa tanpa merusak ekosistem mangrove keuntungan yang
diperoleh sangat besar, ekosistem mangrove terjaga akan mendukung perkembangan
produksi tambak semakin membaik. Hal ini sesuai pendapat Hartati dkk (2005)
yang menyatakan bahwa Tambak sylvofishery merupakan suatu pola agroforestry
yang digunakan dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial di kawasan hutan
mangrove, sehingga para petambak dapat memelihara ikan dan udang atau jenis
ikan lainnya agar kesejahteraan petambak meningkat.
Tanaman mangrove sangat bermanfaat untuk
meningkatkan hasil dari tambak, karena akar mangrove dapat digunakan sebagai
rumah bagi hewan-hewan laut seperti udang dan kepiting maka dari itu selain
melestarikan lingkungan pesisir masyarakat juga dapat meningkatkan hasil
tambaknya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. (Hartati dkk, 2005). Namun, hasil
produksi tambak tidak semua sama seperti diungkapkan oleh Sualia (2010) yang
menyatakan bahwa produksi sangat tergantung dari kualitas lingkungan dan
kualitas air pada tambak tersebut sehingga menjaga keberadaan hutan mangrove
dan ekosistem perairan dari pencemaran sangat berpengaruh terhadap kestabilan
produksi tambak.
2.
Bahan baku untuk makanan
Belum banyak pengetahuan tentang
potensi dan manfaat mangrove sebagai sumber pangan. Penelitian yang dilakukan
Mamoribo (2003) pada masyarakat kampung Rayori, distrik Supriyori Selatan,
kabupaten Biak Numfor memberikan informasi bahwa masyarakat telah memanfaatkan
buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera
gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di
daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove seperti di Kabupaten Serdang
Bedagai (Kampung Nipah) secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi
beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizophora mucronata, Acrostichum
aureum (Kerakas) dan Sesbania
grandiflora (Turi). Bruguiera
gymnorrhiza atau biasa disebut Lindur, dikonsumsi dengan cara
mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avecenia
alba (Api-api) dapat diolah menjadi berbagai kue kering dan makanan yang
berbahan dasar tepung dengn mengolah Avecenia
alba menjadi makanan dan Sonneratia
alba (Pedada) diolah menjadi sirup dan permen (Haryono, 2004).
Dalam bentuk alami, pemanfaatan Bruguiera gymnorrhiza yang selanjutnya disebut
sebagai buah Lindur untuk olahan pangan menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi
alami ini juga menjadi sangat terbatas umur simpannya karena seperti
buah-buahan hasil pertanian yang lainnya, buah Lindur ini akan menjadi cepat
busuk. Penepungan merupakan salah satu solusi untuk mengawetkan buah Lindur karena
dengan penepungan dapat memutus rantai metabolisme buah Lindur sehingga menjadi
lebih awet karena kandungan airnya rendah dan lebih fleksibel diaplikasikan
pada berbagai jenis olahan pangan sehingga nantinya diharapkan lebih mudah
dikenalkan pada masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh IPB bekerjasama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan Nusa
Tenggara Timur menghasilkan kandungan energi buah mangrove ini adalah 371
kalori per 100 gr, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gr), dan jagung
(307 kalori per 100 gr). Kandungan karbohidrat buah bakau sebesar 85.1 gr per
100 gr, lebih tinggi dari beras (78.9 gr per 100 gr) dan jagung (63.6 gr per
100 gr) (Fortuna, 2005).
Berdasar uraian di atas, salah satu
jenis mangrove yaitu Bruguiera
gymnorrhiza direkomendasikan sebagai
sumber bahan pangan baru disebabkan karena spesies ini buahnya mengandung
karbohidrat yang sangat tinggi. Spesies Bruguiera gymnorrhiza yang
mempunyai nama lokal antara lain: Lindur (Jawa dan Bali), Kajang-kajang
(Sulawesi), Aibon (Biak) dan Mangi-mangi (Papua), berbuah sepanjang tahun
dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter. Saat berumur 2 tahun
sudah produktif menghasilkan buah. Tumbuh pada lapis tengah antara Avicennia spp yang di tepi pantai dan Nypa fructicans yang berada lebih
mendekati daratan. Tumbuh subur pada daerah sungai dan muara sungai di
sepanjang pesisir pantai berlumpur dengan salinitas rendah dan kering. Kulit
kayu mempunyai permukaan halus sampai kasar, berwarna abu-abu sampai coklat
kehitaman. Akarnya seperti papan melebar kesamping dibagian pangkal. Mempunyai
sejumlah akar lutut. Daun berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan
pada bagian bawahnya. Dengan bercak-bercak hitam, letak berlawanan, bentuk daun
elips ujung meruncing. Buah melingkar spiral memanjang dengan panjang antara 13
- 30 cm (Sadana, 2007).
3.
Bahan
baku untuk pewarnaan batik
Manfaat hutan
mangrove masih banyak, masyarakat disekitar hutan mangrove di Pesisir Timur
Sumatera Utara telah mengembangkan bahan dari kulit pohon mangrove sebagai
bahan dasar pembuatan warna untuk batik. Dalam proses pewarnaan memakai kulit
batang dari mangrove yang ukuran batangnya sudah mencapai lebih dari 50cm. Proses
pengulitan dilakukan hanya setengah dari batang mangrove, hal ini agar mangrove
tersebut dapat hidup dan tidak mengalami kerusakan yang berbahaya bagi
pertumbuhan tumbuhan mangrove itu sendiri.
Untuk memberikan
peluang besar terhadap pemanfaatan mangrove yang konservatif, dianggap penting
untuk mengembangkan keterampilan membatik dengan menggunakan pewarna alami dari
mangrove yang berasal dari limbah mangrove. Dari hasil penelitian tim peneliti
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (FPIK Undip) ada
empat varietas mangrove yang diteliti untuk bahan pewarna alami itu, yakni Aegiceras corniclatum, Ceriops decandra,
Rhizophora Apiculata, dan Avicenna alba. Pewarna ini dibuat dari
limbah mangrove yang sudah tidak terpakai, terutama kulit kayu dan cabang.
Biasanya, petani mangrove melakukan perawatan dengan memangkas cabang mangrove
secara berkala agar dapat tumbuh berkembang. Hasil pemangkasan beberapa bagian
tanaman yang selama ini tidak banyak dimanfaatkan dan terbuang percuma,
ternyata memiliki nilai ekonomis yang cukup baik. Adapun warna yang dihasilkan dari pigmen olahan empat varietas mangrove
itu kebanyakan cokelat, dengan variasi yang unik dan cenderung lembut (soft).
4.
Ekowisata
Selain sebagai
sumber mata pencarian berupa hasil laut, hutan mangrove juga di manfaatkan sebagai ekowisata.
Ekowisata merupakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir yang
dapat menambah pendapatan mereka. Selain itu dalam pengelolaan ekowisata dan
strategi konservasi hutan mangrove, keterlibatan para stakeholders sangat
berperan penting. Proyek ekowisata dapat berhasil jika stakeholders
melaksanakan peran mereka dalam pengelolaan ekowisata maupun konservasi hutan
mangrove.
Mengelola sebuah hutan mangrove dengan upaya
perlindungannya tidak menutup peluang usaha yang bisa mendatangkan nilai
ekonomi. Selama dilakukan dengan menerapkan strategi konservasi (perlindungan,
pengawetan, dan pelestarian pemanfaatan) serta dibuatnya ketentuan hukum yang
akan mengaturnya, sehingga jelas dan tegas apa hak, kewajiban dan pengenaan
sanksi bagi yang melanggarnya, adalah sah-sah saja berusaha dikawasan lindung.
Model pengelolaan yang bisa dilakukan antara lain dikelola dengan baik sebagai
suatu kawasan hutan wisata.
Jenis wisata pantai di hutan mangrove dengan
membuat jalan berupa jembatan diantara tanaman pengisi hutan mangrove,
merupakan atraksi yang akan menarik pengunjung. Juga restoran yang menyajikan
masakan dari hasil laut, bisa dibangun sarananya berupa panggung diatas
pepohonan yang tidak terlalu tinggi. Atau rekreasi memancing serta berperahu.
Penempatan usaha tambak bisa juga difasilitasi, namun persyaratan ketat harus
diberlakukan untuk pemilihan tempat yang layak berikut luas maksimum garapan,
lama waktu berusaha, permodalan yang kuat serta mutlaknya memperkerjakan
penduduk setempat
Dalam upaya pembangunan ekonomi pada ekosistem hutan mangrove
yang berkelanjutan dengan pemanfaatan sumberdaya yang ada secara efektif dan efesien. Salah satu upaya
pemanfaatan sumberdaya lokal
yang optimal adalah dengan mengembangkan pariwisata dengan konsep Ekowisata. Beberapa contoh kawasan
ekowisata hutan mangrove yang ada di Sumatera Utara yanng telah dikembangkan
adalah Di Kampung Nipah Kabupaten Serdang Bedagai, Desa Tanjung Rejo Kecamatan
Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Kelurahan Belawan Sicanang Kota Medan
dan Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten langkat. Ekowisata
sebagai media untuk mempertahankan hutan mangrove yang tersisa.
Pendapatan masyarakat dalam
mengelola ekowisata sangat menjanjikan bila dikemas dengan baik. Hasil
peninjauan kelapangan pada Ekowisata Desa Lubuk Kertang, setiap minggunya
pengunjung yang datang sebanyak kurang lebih 500 orang. Dari jumlah 500 orang
tersebut sudah memperoleh hasil dari uang masuk kawasan dengan biaya Rp. 2000,-
per orang sudah memperoleh hasil Rp. 1.000.000,- per minggu, masih ditambah dari uang masuk
dari parkir, penyewaan wahana air dan belanja makanan yang dilakukan oleh
pengunjung. Jumlah ini semakin lama akan mendongkrak prekenomian masyarakat
Desa Lubuk Kertang.
Tanaya dan Rudiarto (2014) menjelaskan kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat
lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang berperan
penting dalam
ekowisata bukan hanya wisatawan
tetapi juga pelaku wisata lain (tour operatour) yang memfasilitasi wisatawan untuk menunjukkan tanggungjawab tersebut.
Ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu sebagai
1) produk, (2) pasar,
dan (3) pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua atraksi
yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata
merupakan perjalanan yang
diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Dalam konteks ini wisata
yang dilakukan memiliki
bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi
lokal dan mendorong
respek yang lebih tinggi terhadap
perbedaan kultur
atau budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya (Salim dan
Purbani, 2015).
V. KESIMPULAN dan SARAN
5.1. Kesimpulan
1.
Konservasi ekosistem
mangrove di Pesisir Timur Sumatera Utara dilakukan oleh karena terjadinya
kerusakan pada mangrove oleh adanya perubahan fungsi lahan yang merugikan
ekosistem mangrove dan potensi ancaman kerusakan yang semakin besar sehingga
dibutuhkan tindakan pemulihan dan berbaikan
lingkungan dengan melibatkan masyarakat
2.
Untuk mempertahankan
hutan mangrove dan keberadaan mangrove menjadi hal yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan manusia, maka arahan terhadap pemanfaatan mangrove yang
berkelanjutan telah di terapkan oleh masyarakat yang berada disekitar di
Pesisir Timur Sumatera Utara yang memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan
terhadap kelangsungan hidup dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder
masyarakat yaitu dengan memanfaatkan mangrove untuk pengelolaan tambak
silvofishery, pemanfaatan buah mangrove sebagai sumber makanaan alternatif,
pemanfaatan kulit mangrove untuk pewarnaan dan pemanfaatan hutan mangrove
sebagai kawasan ekowisata.
5.2. Saran
Oleh karena
ancaman kerusakan hutan mangrove akan semakin besar dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan kebutuhan penduduk dalam memenuhi penghidupannya maka saran yang
dapat diberikan adalah:
Penulis
sangat prihatin dengan keberadaan hutan mangrove saat ini, oleh karena itu
saran penulis bagi pihak dan instansi sebagai berikut:
1.
Masyarakat perlu diberikan
bimbingan dan penyuluhan tentang arti penntingnya hutan mengrove pada kehidupan
ini, terutama kehidupan di masa yang akan datang.
2.
Pemerintah dan masyarakat
harus saling mendukung dalam mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan
hidupnya dan kelestarian hutan mangrove.
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
M. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove Menjadi Lahan Tambak Di
Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Jurusan Ilmu Kelautan
dan Perikanan Politeknik Negeri Pontianak. Jurnal Eksos Vol 8. No 2. Hal 90 –
104.
Bengen,
G.B. 2004. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber
Daya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor
Dahuri,
R. 2011. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Devitha, Kalitouw. 2015. Potensi
Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Desa Kulu, Kecamatan Wori Kabupaten
Minahasa Utara. Thesis (online). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Bogor.
Fatchan,
Achmad. 2013. Geografi Tumbuhan dan Hewan. Yogyakarta; Penerbit Ombak.
Fauzi,
2002. Valuasi ekonomi sumberdaya pesisir dan lautan bahan penelitian
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Semarang.
Hamilton,
L.S. dan Snedaker, S. C. 1984. Mangrove Area Management. Handbook. Environment
and Policy Institute. East-West Center Hawai.
Harahab
N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam
Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Harefa.
Meilinda, S. 2012. Kajian Pengelolaan Tambak
Silvofishery Sebagai Upaya Konservasi Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa
Tanjung Rejo Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. PHKI
Batch IV Universitas Negeri Medan
Harjanto,
D. 2002. Tinjauan Perspektif Pengelolaan
Kawasan Mangrove. Tantangan dan Peluang Rehabilitasinya. Makalah Pelatihan dan
Workshop Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. INSTIPER Yogyakarta 24-30
September 2002.
Hartati
et al. 2005. Perilaku Petambak Dalam
Konservasi hutan Mangrove di Desa Jaya Mukti Kabupaten Subang Provinsi Jawa
Barat. Buletin ekonomi Perikanan Vol. VI. No. 1. Tahun 2005 diakses 2 Januari
2017 Pkl 11.00 Wib
Huda,
N. 2008. Strategi kebijakan pengelolaan mangrove berkelanjutan di Wilayah
Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro Semarang. Jawa Tengah
Kusmana,
dkk, 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor.
Marhayana,
S., Niartiningsih, A., dan Idrus, R. 2012. Manfaat Ekonomi Ekosistem Mangrove
di Taman Wisata Perairan Padaido Kabupaten Biak Numfor, Papua. Makassar.
Manajemen Kelautan dan Pengembangan Wilayah Universitas Makasar Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Makassar
Naibaho,
L. M. 2001. Illegal Clearing Take Mangrove Reserve to Brink of Extinction. The
Jakarta Post.
Nontji,
A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Noor,
Y.R., M. Khazali, I.N.N. Suryadiputra.
1999. Panduan pengenalan mangrove di Indonesia. PKA-Wetland Internationa
Indonsia Program, Bogor.
Nybakken,
J. W., 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta
Nurlailita. 2015. Evaluasi
Kesesuaian Lahan Dan Strateg Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun
Dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur. Thesis (online). Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Bogor.
Pearce, D., W., dan R., K., Turner, 1990, Economics of Natural
Resources and The Environment, Harvester Wheatsheaf.
Priyono. Aris. dkk,. 2010. Beragam Produk Olahan Berbahan Dasar
Mangrove. Kesemat. Semarang.
Ramdan, dkk. 2003 dalam Alam, S. dkk. 2009. Ekonomi Sumber Daya
Hutan. Buku Ajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Tamlanrea.
Rusila N.
Y., M. Khazali, dan I. N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor
Salim, Hadiwijaya dan Purbani, Dini. 2015. Pengembangan Pariwisata Bahari Berbasis Masyarakat di Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi Propinsi
Sulawesi Tenggara. Jurnal Manusia
dan Lingkungan. Vol. 22. No. 3. 380- 387.
Saprudin1 dan Halidah, 2013, Potensi Dan Nilai Manfaat Jasa
Lingkungan Hutan Mangrove Di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Journal Balai
Penelitian Kehutanan Manado.
Setyawan,
A.D. dan K. Winarno, 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa
Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya, Kerusakan dan Upaya Restorasinya.
Jurnal Biodiversitas 7 (3) : 282-291
Sualia
et al. 2010. Panduan pengelolaan
Budidaya Tambak Ramah lingkungan di daerah Mangrove. Wetlands
International-Indonesia Programme. Bogor
Sudiarta. Made. 2006.
Ekowisata Hutan Mangrove. Wahana Pelestarian Alam Dan Pendidikan Lingkungan.
Jurnal Manajemen Pariwisata. Vol. 5 No.1.
Suprayogi, B., Hamy, S., Harefa, M., Rahayu, S. and Suharto, B. 2010.
Preliminary Research: Carbon, Community
and Biodiversity (CCB) Study. Medan-Indonesia
Supriharyono. 2007.
Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tanaya, Dhayita dan Rudiarto, Iwan. 2014. Potensi
Pengembangan Ekowisata
Berasis Masyarakat Di Kawasan
Rawa Pening Kabupaten Semarang. Jurnal
Teknik PWK. Vol. 3. N0. 1. 71-8
Tanighuci, K., Takasima,
S. dan Suko, O. 1999. Manual Silvikultur Mangrove. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan Republik Indonesia.
WCMC,
1992. Global Biodiversity. Status of the Earths Living Resources. Chapman Hall.
London.