Kamis, 14 Juni 2012

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT PADA KAWASAN PANTAI TIMUR SUMATERA UTARA


Abstarak

Wilayah pesisir adalah wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Kerusakan mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara kini semakin mengkhawatirkan. Tahun 1997, kerusakan vegetasi mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara telah mencapai 62,7 persen (52.350 Ha) dari luas 83.550 Ha yang ada di Sumatera Utara dan sisa hutan mangrove yang kondisinya masih baik tinggal 31.200 Ha (37,3 persen). Untuk menanggulangi kondisi tersebut, perlu dilakukannya suatu upaya rehabilitasi hutan mangrove yang merupakan bagian dari pengelolaan hutan mangrove dengan melibatkan masyarakat. Tujuan utama dilakukannya kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove.
Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Maka dilakukann pengelolaan mangrove didasarkan atas tiga tahapan yaitu : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum serta strategi pelaksanaan rencana. Strategi pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat ini adalah : (1) kegiatan penghijauan dan rehabilitasi hutan mangrove, (2) pelatihan dan pemanfaatan mangrove non kayu, (3) Penyiapan wilayah ekosistem mangrove menjadi lokasi wisata.

Kata kunci : Pengelolaan, hutan mangrove, masyarakat dan Pantai Timur Sumatera Utara

Pendahuluan

Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena memiliki daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir adalah  wilayah  interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut  yang merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
            Luasan hutan mangrove di dunia  15,9 juta ha dan 27%-nya atau seluas 4,25 juta ha terdapat di Indonesia (Arobaya dan Wanma, 2006). Di Asia, hutan mangrove indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Mnyanmar (9%), namun diperkirakan luas hutan manrove diindonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (FAO, 2007).  Luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu, berdasarkan kondisi diperkirakan bahwa 1,7 juta ha (44.73 %) hutan  mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87.50 %)  hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002). Kerusakan mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara kini semakin mengkhawatirkan. Jika tidak segera diatasi produksi ikan semakin turun di wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan data tahun 1997, kerusakan vegetasi mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara telah mencapai 62,7 persen (mencapai 52.350 Ha) dari luas 83.550 Ha yang ada di Sumatera Utara. Sedangkan sisa hutan mangrove yang kondisinya masih baik tinggal 31.200 Ha (37,3 persen) saja.
Kerusakan hutan mangrove di antaranya disebabkan oleh tekanan dan pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan, akibatnya hutan mangrove dengan cepat menipis dan rusak. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perikanan yang memberikan kontribusi terbesar bagi kerusakan hutan mangrove dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.
            Berdasarkan kondisi hutan mangrove tersebut, perlu dilakukannya suatu upaya rehabilitasi hutan mangrove yang merupakan bagian dari pengelolaan hutan mangrove yang melibatkan masyarakat. Keberhasilan maupun kegagalan dalam rehabilitasi hutan mangrove tidak terlepas dari peran masyarakat dalam mendukung program pemerintah baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove.

Mangrove dan Ekosistem
Menurut Steenis (1978) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut.  Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988).
Bengen (2000) menyatakan hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizophora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. (Soerianegara, 1990)
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau  (Santoso, 2000). Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 (delapan) famili, dan terdiri atas 12 (dua belas) genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2002).

Fungsi dan Manfaat Mangrove
Kusmana (1996) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah organic; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme. Selanjutnya Melana et al. (2000) mengungkapkan bahwa fungsi dan manfaat hutan mangrove adalah:
1.        Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik
2.        Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi
3.        Sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan
4.        Sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan penyerapan dan penjerapan
5.        Sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwa liar lainnya
6.        Sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap ikan
7.        Tempat penagkaran dan penangkapan bibit ikan
8.        Sebagai bahan obat-obatan dan alkohol
Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk-produk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan budaya).
Venkataramani (2004) dalam Santoso (2007) menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.
Kerusakan Mangrove
Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Selanjutnya Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Secara garis besar  ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove menurut Tirtakusumah (1994) , yaitu :
1.        Faktor manusia
yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan.
2.        Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil (Tirtakusumah, 1994).
   Selanjutnya, Soesanto dan Sudomo (1994) menyatakan kerusakan ekosistem mangrove  dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain :
1.        Kurang dipahaminya kegunaan ekosistem mangrove.
2.        Tekanan ekonomi masyarakat miskin yang bertempat tinggal dekat atau sebagai bagian dari ekosistem mangrove.
3.        Karena pertimbangan ekonomi lebih dominan daripada pertimbangan lingkungan hidup.

Pengelolaan Mangrove Berbasis Masyarakat

            Syukur dkk., 2007 menyatakan bahwa pengelolaan mangrove didasarkan atas tiga tahapan yaitu : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum serta strategi pelaksanaan rencana. Isu ekologi meliputi tampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusa terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dikemudia hari. Dalam hal ini, pengelolaan hutan mangrove terdapat 3 (tiga) komponen yang saling berkaitan yaitu : (1) Potensi sumberdaya hutan mangrove. (2) Masyarakat disekitar hutan mangrove (petani tambak) dan (3)Aparatur pemerintah. Ketiga komponen tersebut merupakan komponen yang dinamis. Sehingga dalam kebijakan pengelolaan mangrove melalui pelibatan masyarakat lebih proaktif kearah pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partsipasi.
            Partisipasi masyarakat di sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya bagi kelestarian hutan mangrove. Partisipasi tersebut dapat secara individual maupun kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997) Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup”. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik terhadap perencanaan maupun tahap-tahap perencanaan dan penilaian.
Keberhasilan pengelolaan mangrove dapat dioptimalkan melalui strategi pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat yang mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam. Mengelola disini mengandung arti, masyarakat ikut memikirkan, merencanakan, memonitor dan mengevaluasi sumberdaya ekosistem hutan mangrove dan manfaat sumberdaya tersebut secara berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian ekosistem tersebut.
Pada dasarnya pengelolaan kawasan hutan mangrove dilakukan bukan saja difokuskan kepada kegiatan fisik tetapi kegiatan manusia yang berkaitan langsung dengan keberadaan mangrove. Hal ini sangat penting dilakukan oleh karena :
a.         Sebagian besar masalah pesisir adalah disebabkan oleh manusia sehinggan dalam penanganannnya lebih bijak jika diselesaikan melalui keterlibatan langsung masyakat disekitarnya
b.        Keterlibatan masyarakat adalah sumber informasi pesisir yang baik yang berhubungan dengan pengelolaannya
c.         Keterlibatan masyarakat dapat  menyeimbangkan pandangan masyarakat tersebut
d.         Masyarakat merasa dihargai karena dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan terutama jika buah pikirannya diakui dan dimasukkan dalam perencanaan kegiatan sehingga menjadi pendorong pelaksanaan yang lebih baik.
Pengelolaan Mangrove berbasis masyarakat termasuk pada program penganggulangan kerusakan mangrove yang telah terjadi pada kawasan pantai timur Sumatera Utara melalui langkah terpadu yang tepat dilakukan adalah pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Tujuan utama langkah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove.  Dalam hal ini Syukur dkk., 2007 menyatakan bahwa ada lima yang harus diperhatikandalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat  adalah:
1.        Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian alternative usaha yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi ramah lingkungan
2.        Memberikan akses kepada masyarakat berupa informasi, akses terhadap; pasar,  pengawasan, penegakan dan perlindungan hokum serta sarana dan  prasarana pendukung lainnya
3.        Menumbuh dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti dan nilai sumberdaya ekosistem sehingga membutuhkan pelestaraian
4.        Menumbuh dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menjaga, mengelola dan melestarikan ekosistem
5.        Menumbuh dan meningkatkan kemampuan amsyarakat untuk mengelola dan melestarikan sumberdaya ekosistem
Beberapa tahapan strategi pengelolaan mangrove yang dapat dilakukan pada kawasan Pantai Timur Sumatera Utara dilakukan antara lain :
1.        Penghijauan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove
Masyarakat akan berpartisipasi secara sukare rela dalam kegiatan penghijauan dan rehabilitasi, jika memiliki motivasi berperan serta. Motivisi ini berfungsi sebagai pendorong sehingga timbul tindakan nyata yang dilakukan dalam bentuk aksi penghijauan ataupun rehabilitasi. Motivasi masyarakat melakukan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi hutan mangrove akan timbul, bila adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk melakukan sesuai dengan kemampuannya melalui pendampingan.
Kegiatan penghijauan ataupun rehabilitasi yang dilakukan dimulai dengan keterlibatan dari perencanaan, proses, monitoring dan evaluasi sehingga keberadaan masyarakat berarti pada program tersebut.
2.        Pelatihan Pemanfaatan Mangrove non Kayu
Pemanfaatan mangrove tidak hanya dengan melakukan penebangan kayunya. Pemanfaatan lain dari mangrove dapat diperoleh dari buah dan daunya yang telah mulai disosialisasikan diberbagai media. Pemanfaatan non kayu tersebut disosialisasikan dan diimplementasi dengan pelatihan .
Salah satu fungsi hutan mangrove sebagai sumberdaya tanaman mangrove sebagai salah satu bahan baku makanan alternative masih sangat sedikit sekali diketahui oleh masyarakat umum oleh karena Informasi tentang pemanfaatan tumbuhan mangrove sebahai bahan baku makanan jarang sekali disosialisasikan
Salah satu contoh pemanfaatan non kayu adalah pengolahan buah mangrove menjadi bahan makanan. Contoh makanan dari mangrove adalah :
a.    Buah perpat (Soneratia Spp.) menghasilkan makanan : syrup, selai, dodol, permen dan lain-lain.
b.    Buah api-api (Avecenia Spp.)   menghasilkan makanan : keripik, bahan tepung pembuatan kue basah dan lain-lain.
c.    Nipah  (Nypa fruticans) menghasilkan makanan : sebagai bahan bahan baku minuman (es buah) dan buahnya bias langsung dimakan.
3.        Penyiapan wilayah ekosistem mangrove menjadi lokasi wisata pantai seperti lokasi pemancingan alam dan lain-lain. Kegiatan ini melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan sampai terbentuknya wilayah pariwisata mangrove yang memiliki potensi untuk mensejahterahkan masyarakat sekitar kawasan wisata tersebut.
Pengelolaan hutan mangrove menjadi lokasi wisata cenderung memberikan dampak posistif terhadap perekonomian masyarakat, seperti terbukanya lapangan usaha dan perekrutan tenaga kerja. Hal utama dari program ini, pola masyarakat sebagai perambah hutan mangrove terhenti dan berganti dengan pola penyelematan mangrove sebagai kawasan yang diminati pengunjung wisata.

DAFTAR PUSTAKA
Arobaya, A dan A. Wanma. 2006. Menelusuri sisa areal hutan mangrove di Manokwari. Warta Konservasi Lahan Basah,14 (4): 4-5.
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, HR, J.Rais, S.P Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dahuri. 2003. Keanekaragaman Hayati: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Kusmana, C. 1994. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Laboratorium Ekologi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Manan, 1986. Ekosistem Mangrove Wilayah Pesisir. Kanisius, Yogyakarta.
Naamin, N. 1991. Penggunaan Lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardo et al. Proseding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia LIPI
Nybakken, J.W.1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Penerbit P.T. Gramedia. Jakarta.
Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Saenger et al. 1983. Global Status ol Mangrove.  Ecosystem, IUCN Commossion  on Eccology Papers. No. 3. 1983
Santoso, U. 2007. Permasalahan dan  solusi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu. Pertemuan PSL PT se-Sumatera tanggal 20 Februari 2006 di Pekanbaru.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Nasional. Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta.
Soemodihardjo, S., O.S.R. Ongkosongo dan Abdullah. 1986. Pemikiran Awal Kriteria Penentuan Jalur Hijau Hutan Mangrove. Dalam Diskusi Panel Dayaguna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove (I. Soerianaga, S. Hardjowigeno, N. Naamin, M. Sudomo dan Abdullah, Eds). LIPI – Panitia Program MAB Indonesia.
Sudarmadji. 2001. Rehabilitasi Hutan Mangrove Dengan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 2 No.2. 68 -71
Syukur Djazuli, Aipassa dan Arifin. 2007. Analisis Kebijakan Pelibatan Masyarakat dalam mendukung Pengelolaan Hutan Mangrove di Kota Bontang. Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 14. N0. 2 Desember 2007.
Melana, D.M., J. Atchue III, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana, and H.I. Gonzales. 2000. Mangrove Management Handbook. Departemen of Environment and Natural Resources, manila, Philippines through the Coastal Resource Management Project, Cebu Citu, Philippines.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar